Tulisan 3 ( contoh
kasus hukum perikatan )
KASUS SURABAYA DELTA PLAZA
:Sewa - Menyewa Ruangan :
A. Kronologis Kasus
Pada permulaan PT Surabaya Delta Plaza (PT
SDP) dibuka dan disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan
untuk memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara
persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat kota
Surabaya itu. Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT
surabaya Delta Plaza adalah Tarmin Kusno, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2
Lantai III itu untuk menjual perabotan rumah tangga dengan nama Combi
Furniture. Empat bulan berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola
SDP mengajak Tarmin membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris.
Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service
Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa
ruangan. Tarmin bersedia membayar semua kewajibannya pada PT SDP, tiap bulan
terhitung sejak Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan
tanggal 10 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan
pembayaran. Kesepakatan antara pengelola PT SDP dengan Tarmin dilakukan
dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya
hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Tarmin ternyata tidak pernah
dipenuhi, Tarmin menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga
tagihan demi tagihan pengelola SDP tidak pernah dipedulikannya. Bahkan
menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku karena pihak SDP telah
membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda
pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin akan dibicarakan kembali
di akhir tahun 1991. Namun pengelola SDP berpendapat sebaliknya.
Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum
pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya
membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT SDP. Meski kian
hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus
bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola SDP,
yang mengajak Tarmin meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola SDP menutup COMBI Furniture
secara paksa. Selain itu, pengelola SDP menggugat Tarmin di Pengadilan
Negeri Surabaya.
Sistem pengaturan hukum perikatan adalah
bersifat terbuka, artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian,
baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam UU. Hal ini dapat
disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 yang berbunyi
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Dari ketentuan pasal ini memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan
perjanjian dengan siapapun, menemukan isi perjanjian dan bebas menetukan bentuk
perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis.
Dalam menentukan suatu perikatan, maka tidak
boleh melakukan perbuatan yang melawan hukum. Sebagaimana dalam H.R. 1919 yang
mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai berikut :
1. Melanggar
hak orang lain
2. Bertentangan
dengan kewajiban hukum pelaku yang dirumuskan dalam UU
3. Bertentangan
dengan kesusilaan
4. Bertentangan
dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat, aturan kecermatan ini
menyangkut aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya dan
aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan
kepentinagn sendiri.
Analisis kasus
Dilihat dari pihak PT Surabaya Delta Plaza
(PT SDP) yang mengajak Tarmin Kusno untuk berjualan di komplek pertokoan di
pusat kota Surabaya, maka secara tidak langsung PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP)
telah melaksanakan kerjasama kontrak dengan Tarmin Kusno yang dibuktikan dengan
membuat perjanjian sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan pasal 1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut
maka pihak PT SDP dan Tarmin Kusno mempunyai keterikatan untuk memberikan
atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.
Seharusnya perjanjian itu tidak boleh dilangggar
oleh kedua belah pihak karena pihak PT SDP dan Tarmin Kusno dengan rela tanpa
ada paksaan menandatangani isi perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak
PT SDP yang dibuktikan dihadapan Notaris.
Tetapi pada kenyataannya, dari pihak Tarmin Kusno
tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk membayar semua tagihan sebagaimana
yang telah di sepakatinya bersama pihak PT SDP dan bahkan tidak pernah peduli
walaupun tagihan demi tagihan yang datang kepadanya, tetap tidak membayar.
Maka dari sini Tarmin Kusno bisa dinyatakan sebagai pihak yang melanggar
perjanjian.
Dengan alasan inilah pihak PT SDP setempat
melakukan penutupan COMBI Furniture secara paksa dan menggugat Tamrin Kusno di
Pengadilan Negeri Surabaya. Jika kita kaitkan dengan Undang-undang yang ada
dalam BW, tindakan Pihak PT SDP bisa dibenarkan dan dinyatakan tidak bersalah .
Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan
bahwa : Dalam pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan
segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia
minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala
sesuatuyang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak
menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
Jadi kesimpulannya maka pihak PT SDP bisa
menuntut kepada Tarmin Kusno yang tidak memenuhi suatu perikatan dan dapat
dikenai denda untuk membayar semua tagihan kepada PT Surabaya Delta Plaza.